Contact : 0813 5009 5007 Available 24/7

18 Office Tower

Jakarta

Spazio Tower

Surabaya

Podomoro City

Medan

Graha Raya

Tanggerang

No Viral, No Justice: Perlawanan Pajak melalui Media Sosial

Kenali Jasa PPJK: Solusi Tepat untuk Masalah Ekspor Impor Anda
Pengantar

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp1.988,9 triliun atau sekitar 86,10% dari total pendapatan negara. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pajak memegang peranan penting dalam pembiayaan negara. Namun, pencapaian target tersebut kerap bersinggungan dengan persepsi masyarakat yang menganggap pajak sebagai beban, bukan sebagai kontribusi wajib yang mendukung pembangunan negara.

Belakangan ini, media sosial telah menjadi sarana yang digunakan masyarakat untuk mengungkapkan keberatan mereka terhadap kebijakan pajak. Fenomena ini memunculkan istilah “no viral, no justice,” di mana keadilan seolah-olah hanya dapat dicapai jika suatu masalah menjadi viral. Artikel ini akan membahas akar permasalahan tersebut, peran media sosial dalam perlawanan pajak, serta upaya yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengatasinya.


Dasar Hukum Perpajakan

Pemungutan pajak di Indonesia diatur oleh berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN). Selain itu, prinsip-prinsip perpajakan juga didasarkan pada teori The Four Maxims oleh Adam Smith, yaitu asas equality, certainty, convenience, dan economy.

Penting untuk dipahami bahwa pajak tidak hanya merupakan kewajiban, tetapi juga hak. Wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan keberatan, banding, dan pengurangan sanksi sebagaimana diatur dalam UU KUP. Dengan memahami dasar hukum ini, wajib pajak diharapkan dapat menyampaikan ketidakpuasan mereka melalui jalur yang sesuai, bukan melalui media sosial yang seringkali kurang terukur dalam validitas informasi.


Pengertian dan Peran Pajak dalam Pembangunan

Pajak adalah kontribusi wajib yang dipungut oleh negara berdasarkan undang-undang. Dana yang terkumpul dari pajak digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor lainnya. Sebagai “bahan bakar peradaban,” pajak menjadi pilar penting yang memungkinkan roda ekonomi negara terus bergerak.

Namun, pengelolaan pajak seringkali disalahpahami oleh masyarakat. Ketidakpuasan terhadap pelayanan atau jumlah pajak yang harus dibayar seringkali dituangkan di media sosial, menciptakan gejala “no viral, no justice.” Hal ini dapat merusak persepsi publik terhadap otoritas pajak, meskipun persoalan yang diangkat tidak selalu memiliki dasar yang kuat.


Media Sosial sebagai Sarana Perlawanan Pajak

Media sosial telah berkembang menjadi ruang publik digital yang memungkinkan individu untuk menyuarakan pendapat mereka. Namun, dalam konteks perpajakan, media sosial sering digunakan untuk mengungkapkan ketidakpuasan atas kebijakan pajak.

Fenomena ini memunculkan beberapa masalah:

1. Ketidakakuratan Informasi

Konten yang viral di media sosial tidak selalu didasarkan pada fakta yang valid. Hal ini berpotensi menyesatkan opini publik.

2. Trial by Press

Wajib pajak cenderung menggunakan media sosial untuk menekan otoritas pajak daripada melalui mekanisme hukum yang ada.

3. Pelanggaran Privasi

Informasi yang seharusnya bersifat rahasia seringkali diungkapkan secara publik, berisiko melibatkan konsekuensi hukum lebih lanjut.

Etika dalam bermedia sosial sangat penting untuk memastikan bahwa penyampaian kritik atau keberatan terhadap kebijakan pajak dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab.


Gejala “No Viral, No Justice”

Gejala “no viral, no justice” merujuk pada situasi di mana keadilan dianggap hanya bisa dicapai jika suatu isu menjadi viral di media sosial. Dalam konteks perpajakan, fenomena ini menitikberatkan pada pencarian sensasi dibandingkan dengan penyelesaian masalah yang substantif.

Padahal, wajib pajak memiliki jalur hukum yang jelas untuk menyampaikan keberatan, seperti melalui:

  • Pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP).
  • Banding ke Pengadilan Pajak.
  • Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketidakpahaman akan hak dan kewajiban ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong wajib pajak untuk menggunakan media sosial sebagai sarana utama protes mereka.


Upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

DJP telah mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Salah satu langkah tersebut adalah edukasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2021.

Edukasi ini dilakukan melalui:

1. Media Sosial

DJP memanfaatkan platform media sosial untuk menyebarkan informasi yang benar terkait perpajakan.

2. Media Cetak dan Elektronik

Informasi perpajakan disampaikan melalui publikasi yang mudah diakses oleh masyarakat.

3. Tatap Muka

Program edukasi langsung kepada wajib pajak dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam.

    Langkah-langkah ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang sadar pajak sekaligus memahami hak dan kewajiban mereka secara lebih baik.


    Penutup

    Pajak adalah tulang punggung pembangunan negara. Namun, keberhasilan pemungutan pajak tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada kesadaran dan kepatuhan masyarakat sebagai wajib pajak.

    Fenomena “no viral, no justice” menunjukkan bahwa media sosial, meskipun bermanfaat, sering disalahgunakan dalam konteks perlawanan pajak. Untuk itu, sangat penting bagi masyarakat untuk memahami jalur hukum yang tersedia sebagai upaya keberatan yang sah.

    Sebagai wajib pajak, mari kita katakan “Say No to No Viral, No Justice.” Bersama Jhontax, kami hadir untuk membantu Anda memahami hak dan kewajiban perpajakan Anda secara profesional dan bertanggung jawab.

    Tags :
    Share This :

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Recent Posts

    Have Any Question?