Pengantar
Industri hiburan mengalami perkembangan pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan rekreasi. Tempat hiburan, seperti bioskop, taman bermain, hingga klub malam, menawarkan pengalaman yang menghibur dan menyegarkan. Di balik gemerlapnya tempat hiburan, terdapat aspek penting yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha, yaitu aspek perpajakan. Dalam konteks ini, pajak memiliki peran sentral dalam menciptakan keadilan dan kesetaraan di antara pelaku usaha hiburan.
Pemerintah telah menetapkan aturan perpajakan yang ketat untuk sektor hiburan guna memastikan setiap pihak berkontribusi sesuai dengan kemampuan mereka. Artikel ini akan mengulas dasar hukum, definisi, serta perlakuan perpajakan terhadap tempat hiburan yang diatur dalam berbagai regulasi terbaru.
Dasar Hukum
Panduan pajak ini didasarkan pada sejumlah regulasi yang berlaku, di antaranya:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (terakhir diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (terakhir diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (terakhir diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023);
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (diubah dengan UU Nomor 39 Tahun 2007);
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
- Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21;
- Beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak terkait yang mengatur teknis pajak hiburan.
Definisi Tempat Hiburan
Tempat hiburan adalah sarana yang menyediakan berbagai bentuk kesenian dan hiburan bagi masyarakat. Berdasarkan UU HKPD, jasa kesenian dan hiburan mencakup semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan rekreasi, termasuk:
- Tontonan film, baik secara langsung maupun melalui media audio visual di lokasi tertentu;
- Pertunjukan kesenian, seperti musik, tari, busana, dan lainnya;
- Olahraga ketangkasan, seperti pacuan kuda, perlombaan motor, dan permainan lainnya;
- Rekreasi wahana, termasuk taman bermain, wahana air, kebun binatang, serta panti pijat dan spa;
- Tempat hiburan malam, seperti diskotek, karaoke, dan klub malam.
Beberapa kegiatan hiburan dikecualikan dari kewajiban pajak, seperti promosi budaya tradisional tanpa biaya dan kegiatan layanan masyarakat.
Perlakuan Pajak pada Tempat Hiburan
1. Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan)
Pelaku usaha tempat hiburan wajib melaporkan dan membayar PPh Badan atas penghasilan yang mereka terima. Sesuai dengan ketentuan dalam UU KUP, tempat hiburan harus menyelenggarakan pembukuan yang memuat catatan penghasilan, biaya, harta, kewajiban, dan modal. Pembukuan ini digunakan sebagai dasar perhitungan pajak terutang.
a. Rekonsiliasi Fiskal
Langkah awal dalam perhitungan PPh Badan adalah melakukan rekonsiliasi fiskal, yaitu mengidentifikasi penghasilan dan biaya yang dapat diakui secara fiskal. Penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya operasional yang berhubungan dengan usaha tempat hiburan.
b. Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan kena pajak diperoleh setelah mengurangi penghasilan bruto dengan biaya-biaya yang dapat dibebankan secara fiskal. Jika terjadi kerugian fiskal pada tahun-tahun sebelumnya, kerugian ini dapat dikompensasikan pada tahun berikutnya.
c. PPh Badan Terutang
Setelah menentukan penghasilan kena pajak, PPh Badan terutang dihitung dengan mengalikan tarif PPh Badan sebesar 22% dengan penghasilan kena pajak. Pelaku usaha dengan peredaran bruto di bawah Rp50 Miliar dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan tarif sesuai Pasal 31E UU PPh.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pada umumnya, penyerahan barang dan jasa kena pajak (BKP/JKP) di Indonesia dikenakan PPN. Namun, jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak daerah tidak dikenakan PPN. Kecuali, ada dua jenis jasa hiburan yang tetap dikenakan PPN:
- Penyediaan tempat atau peralatan untuk permainan golf;
- Penayangan film digital melalui layanan streaming.
Jika tempat hiburan memiliki omzet lebih dari Rp4,8 Miliar, mereka wajib menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan memungut PPN.
3. Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
PBJT adalah pajak daerah yang dikenakan atas penyelenggaraan jasa hiburan tertentu, termasuk bioskop, konser musik, taman bermain, dan sebagainya. Tarif PBJT ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing sesuai dengan UU HKPD.
4. Cukai
Tempat hiburan yang menjual minuman beralkohol atau produk lainnya yang dikenai cukai juga wajib membayar cukai sesuai ketentuan UU Cukai. Cukai dikenakan pada tingkat produksi atau impor dan harus disetor ke kas negara.
Penutup
Pelaku usaha tempat hiburan harus memahami dan mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku, baik pajak pusat seperti PPh dan PPN, maupun pajak daerah seperti PBJT. Pemahaman yang baik tentang kewajiban perpajakan akan membantu menciptakan usaha yang berkelanjutan dan menghindari sanksi dari pihak berwenang. Pemerintah terus berupaya untuk menciptakan regulasi yang adil bagi seluruh pelaku usaha, termasuk di sektor hiburan, guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan keadilan perpajakan di Indonesia.