Kutipan karya Daphne du Maurier telah menjadi sumber inspirasi bagi Penelope Featherington dalam serial Bridgerton yang mulai tayang di Netflix sejak 2020. Dalam penerbitan surat kabarnya, ia menggunakan nama pena Lady Whistledown. Serial tersebut merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh Julia Quinn pada tahun 2000-an.
Dalam musim ketiga serial Bridgerton, selain mengisahkan kehidupan keluarga Bridgerton yang merupakan bangsawan di era Kerajaan Inggris pada abad ke-18, serial ini juga menyoroti seorang penulis misterius yang menulis surat kabar berisi gosip dan kritikan terhadap para bangsawan. Surat kabar tersebut sangat terkenal pada masa itu, dibaca oleh semua orang termasuk Ratu Inggris, Queen Charlotte. Pada periode ini, Kerajaan Inggris dipimpin oleh King George III dan Queen Charlotte dari Mecklenburg-Strelitz.
Banyaknya pembaca surat kabar Lady Whistledown tentu saja membuat Penelope Featherington—penulis di balik surat kabar tersebut—meraih keuntungan besar dari bisnis rahasianya. Namun, di era modern ini, bagaimana seorang penulis yang menggunakan nama pena seperti Lady Whistledown bisa dikenakan pajak sementara identitasnya tetap tersembunyi?
Nama Pena dalam Dunia Penulisan
Dalam dunia kepenulisan, penggunaan nama pena sudah sangat umum. Berdasarkan Wikipedia, nama pena adalah nama samaran yang dipilih oleh seorang penulis. Contohnya seperti Lady Whistledown, di Indonesia beberapa penulis juga memakai nama pena untuk karya mereka. Salah satu penulis yang terkenal adalah Ilana Tan, yang dikenal melalui novel-novel bertema empat musim. Novel kelimanya, Sunshine Becomes You, bahkan telah diadaptasi menjadi film. Namun, anehnya, produser film tersebut mengaku belum pernah bertemu langsung dengan “Ilana Tan,” bahkan selama proses pembuatan film berlangsung.
Banyak alasan yang membuat penulis memilih menggunakan nama pena, salah satunya adalah untuk menjaga privasi mereka agar kehidupan pribadi tidak terganggu. Penulis berpendapat bahwa kehidupan pribadi dan profesi mereka (dalam hal ini sebagai penulis) seharusnya dipisahkan. Selain itu, penggunaan nama pena juga efektif karena memungkinkan penulis untuk memilih nama yang lebih menarik atau komersial, yang dapat menarik perhatian pembaca dan meningkatkan minat mereka untuk membaca karya penulis tersebut.
Pajak dan Nama Pena
Apakah dengan menggunakan nama pena penulis akan terhindar dari pajak?
Jika dalam serial Bridgerton, Lady Whistledown harus bekerja sama dengan Madame Delacroix untuk membantu proses penerbitan surat kabarnya sehingga akhirnya Madame Delacroix mengetahui identitas asli Lady Whistledown, maka di era modern ini, penulis dengan nama pena juga perlu mengungkapkan identitas mereka dalam proses penerbitan buku atau surat kabar yang ditulis. Hal ini diperlukan karena saat ini, ketika penulis ingin mengirimkan karyanya ke penerbit untuk diterbitkan, penulis harus menandatangani kontrak.
Penandatanganan kontrak ini harus menggunakan nama asli sebagai tanda bahwa identitas tersebut merupakan penulis sah tulisan tersebut. Sang penulis juga akan dimintai identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan juga Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam proses penerbitan ini. Jadi, penggunaan nama pena hanya digunakan pada setiap cover buku atau tulisan yang akan dirilis, sedangkan penggunaan nama asli wajib dicantumkan apabila berkenaan dengan hukum dan kontrak.
Jadi, menggunakan nama pena dalam setiap tulisan yang dirilis bukan berarti sang penulis tidak dikenakan pajak karena identitasnya tidak terungkap.
Aspek Perpajakan Penulis
Penandatanganan kontrak ini wajib menggunakan nama asli sebagai bukti bahwa identitas tersebut merupakan penulis sah dari karya tersebut. Penulis juga diharuskan memberikan identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) selama proses penerbitan ini. Dengan demikian, nama pena hanya digunakan pada sampul buku atau karya yang akan diterbitkan, sementara nama asli harus dicantumkan dalam semua hal yang berkaitan dengan hukum dan kontrak.
Pada PER-1/PJ/2023 ini, ditegaskan bahwa tarif efektif pemotongan PPh Pasal 23 lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu sebesar 15% dari jumlah bruto yang tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa jumlah bruto yang dimaksud adalah 40% dari pendapatan royalti. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tarif efektif dalam perhitungan ini adalah sebesar 6%.
Selain melakukan kewajiban seperti memiliki NPWP, mencatat penghasilan, menyimpan bukti potong pajak, dan menyampaikan SPT tahunan, penulis juga harus memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maksimal tiga bulan setelah tahun pajak dimulai. Penggunaan NPPN ini berlaku jika penghasilan penulis tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun. Menurut PER-17/PJ/2015, penulis dapat menggunakan NPPN sebesar 50% dari penghasilan bruto yang diterima.
Contoh Kasus
Lady Whistledown, seorang jurnalis terkemuka, terkenal dengan tulisannya yang selalu dinantikan oleh masyarakat. Pada awal tahun 2024, harga jual surat kabarnya adalah Rp20.000,00 per kopi. Setiap bulan, ia menerima royalti sebesar 10% dari pendapatan penjualan surat kabar tersebut. Berikut adalah hasil penjualannya:
- Januari – April 2024: 20.000 eksemplar
- Mei – Agustus 2024: 40.000 eksemplar
- September – Desember 2024: 60.000 eksemplar
Rekapitulasi penjualan surat kabar Lady Whistledown adalah sebagai berikut:
Periode | Surat Kabar Terjual (Rp) | Omzet Royalti (Rp) | PPh Pasal 23 (Rp) |
---|---|---|---|
Januari – April 2024 | 400.000.000 | 40.000.000 | 2.400.000 |
Mei – Agustus 2024 | 800.000.000 | 80.000.000 | 4.800.000 |
September – Desember 2024 | 1.200.000.000 | 120.000.000 | 7.200.000 |
Total | 2.400.000.000 | 240.000.000 | 14.400.000 |
Sehingga, total PPh Pasal 23 yang dikenakan kepada Lady Whistledown adalah senilai Rp14.400.000,00.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pendapatan yang diperoleh oleh Lady Whistledown tidak melebihi Rp4.800.000.000,00, sehingga ia berhak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk profesi penulis, yang ditetapkan sebesar 50% dari pendapatan bruto.
Penghasilan Bruto:
Rp240.000.000,00
Penghasilan Netto:
Rp240.000.000,00 x NPPN (50%) = Rp120.000.000,00
PKP:
Rp120.000.000,00 – PTKP (54.000.000) = Rp66.000.000,00
PPh Terutang:
Rp66.000.000,00 x Tarif Progresif (Pasal 17) = Rp3.900.000,00
Kredit Pajak:
Rp14.400.000,00
Pajak yang lebih bayar:
Rp10.500.000,00
Sebagai hasil dari pembayaran pajak yang berlebihan, dapat disimpulkan bahwa Lady Whistledown harus melaporkan SPT Tahunan menggunakan formulir SPT Tahunan 1770 dengan status lebih bayar melebihi Rp10.500.000,00. Selanjutnya, atas pembayaran yang berlebihan tersebut, Lady Whistledown berhak untuk meminta pengembalian pungutan yang telah dibayarkan di muka sesuai dengan ketentuan Pasal 17D dari Undang-Undang KUP. Permohonan pengembalian pungutan yang telah dibayarkan di muka ini dapat diajukan dengan mencentang opsi restitusi saat mengisi formulir SPT Tahunan 1770 secara elektronik (e-Form) di situs pajak.go.id.
Butuh bantuan jasa konsultan pajak? Jhontax dapat membantu Anda mengurus jasa konsultan pajak dan pelaporan keuangan. Hubungi tim Jhontax sekarang.