Presiden Joko Widodo mengejutkan dunia internasional ketika dia memutuskan untuk melawan gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) pada 2020. Meskipun Indonesia kalah, Presiden tetap berjuang dan saat ini masih berada pada tahap banding. Rakyat Indonesia patut berbangga dan menghargai keberanian Presiden Joko Widodo dalam menghadapi Uni Eropa dalam hal ini.
Kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020 yang dikeluarkan oleh pemerintah, dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, menimbulkan masalah besar terhadap pasokan bahan mentah (row material) industri manufaktur Eropa. Uni Eropa menjerit dan menggugat di WTO. Salah satu fungsi WTO adalah melindungi kepentingan negara industri maju seperti Uni Eropa, Amerika, dan Jepang dalam mengamankan suplai bahan baku.
Hasan Kleib, duta besar Indonesia untuk PBB menjelaskan bahwa gugatan Uni Eropa terdiri dari tiga poin penting. Pertama, tentang pembatasan ekspor untuk produk mineral seperti nikel, bijih, besi, dan kromium. Ini menyebabkan negara-negara di kawasan Eropa kesulitan mendapatkan bahan baku industri. Kedua, menyangkut kebijakan insentif fiskal yang hanya diberikan kepada perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik. Ketiga, tentang kebijakan skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Uni Eropa, Presiden Joko Widodo mendorong adanya kesetaraan dalam kemitraan antarnegara. Kesetaraan ini dimaksudkan agar tidak ada satu negara yang merasa lebih superior dibanding negara lain. Dalam kesempatan tersebut Presiden menyampaikan, “Kemitraan itu harus sejajar dan tidak boleh ada pemaksaan negara-negara maju karena merasa bahwa standar mereka lebih bagus dari standar negara kita.” Indonesia sebagai negara berdaulat sekaligus anggota WTO memiliki hak preferensi untuk mengatur produk mana yang akan diekspor ke negara lain atau tidak diekspor.
Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (UGM) mencatat setidaknya ada dua alasan utama yang menjadi landasan pemerintah Indonesia dalam mengambil kebijakan pelarangan ekspor nikel. Pertama, untuk memenuhi pasokan domestik industri smelter di Indonesia. Saat ini Indonesia telah mempunyai 21 smelter dan direncanakan akan terus dibangun hingga 53 smelter sampai tahun 2024. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai tambah nikel di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Alasan kedua adalah untuk memperkuat posisi negara dalam industri hilir nikel, seperti produksi baterai, yang semakin penting karena semakin banyaknya permintaan global akan kendaraan listrik dan perangkat elektronik yang membutuhkan baterai.
Kebijakan ini tidak hanya memperkuat sektor industri dalam negeri, tetapi juga meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, royalti, dan dividen dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di dalam negeri. Selain itu, kebijakan ini juga memberikan insentif bagi investor untuk membangun smelter di dalam negeri.
Namun, pelarangan ekspor nikel juga menimbulkan kontroversi dan dampak negatif bagi beberapa pihak. Beberapa produsen baja asing yang membeli nikel dari Indonesia mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan bahan baku mereka. Selain itu, beberapa produsen stainless steel di Indonesia yang mengandalkan impor nikel juga terdampak oleh kebijakan ini.
Kebijakan pelarangan ekspor nikel juga menimbulkan kekhawatiran akan munculnya perdagangan ilegal nikel, yang dapat merusak lingkungan dan merugikan perekonomian negara. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa pelarangan ekspor nikel diikuti oleh peningkatan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat untuk mencegah perdagangan ilegal nikel.
Secara keseluruhan, kebijakan pelarangan ekspor nikel memiliki tujuan yang mulia untuk memperkuat sektor industri dalam negeri dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, dampak negatif dari kebijakan ini juga harus diperhatikan dan diatasi oleh pemerintah, sehingga kebijakan ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi perekonomian dan masyarakat Indonesia.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://www.pajak.go.id/id/artikel/gugatan-uni-eropa-dan-hilirisasi-indus