Sobat jhontax, pernahkah kita merenungkan bagaimana perkembangan budaya viral, cancel culture, dan pentingnya literasi dalam kehidupan sehari-hari kita? Di era digital yang semakin maju ini, fenomena tersebut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial dan interaksi kita. Melalui media sosial yang kini menjelma menjadi panggung utama, pesan-pesan viral dapat dengan cepat menyebar dan mempengaruhi pandangan serta tindakan masyarakat. Namun, di balik kecanggihan teknologi dan popularitas budaya viral, adakah kita menyadari pentingnya memiliki literasi yang kuat untuk menghadapinya? Mari kita telusuri lebih dalam mengenai aspek-aspek yang relevan dari budaya viral, cancel culture, dan pentingnya literasi dalam artikel ini.
Pada suatu ketika di sebuah distrik kecil, terjadi sebuah fenomena menarik yang melibatkan seorang wajib pajak yang cukup “fenomenal”. Hal ini menarik perhatian karena wajib pajak tersebut tampak mengabaikan kewajibannya sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik dari segi subjektif maupun objektif. Meski sudah menerima imbauan dari pihak lawan transaksinya untuk segera mengukuhkan diri sebagai PKP, yang akan kita sebut sebagai “A”, tetap saja tidak memberikan tanggapan yang memadai.
Berulang kali pihak otoritas pajak mengirimkan surat-surat untuk mengingatkan A, namun sayangnya surat-surat tersebut diabaikan begitu saja. Akibatnya, otoritas pajak akhirnya mengambil langkah drastis dengan melakukan audit pajak sesuai dengan prosedur yang berlaku dan menghasilkan tagihan pajak yang sangat besar.
Tentu saja, wajib pajak terkejut dengan besarnya tagihan pajak yang harus dibayarkan. A berusaha melakukan upaya hukum dalam bidang perpajakan, seperti mengajukan keberatan, banding, bahkan sempat mengirimkan surat kepada pejabat tertinggi negara. Kasus ini pun dilaporkan kepada pihak berwajib di distrik terkait. A berusaha sekuat tenaga untuk membatalkan hasil audit dari otoritas pajak.
Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Baik dalam tingkat keberatan, banding, maupun peninjauan kembali, semua menghasilkan keputusan yang menyatakan bahwa A dengan sengaja melakukan tindakan yang merugikan negara. Hal ini sesuai dengan temuan dan bukti yang telah ditemukan oleh aparat hukum terkait.
Namun, apakah A menyerah begitu saja? Ternyata tidak. A mencoba masuk ke dunia media sosial. Di sana, budaya viral dan cancel culture begitu dominan.
Budaya viral dan cancel culture sebenarnya mulai marak pada abad ke-21. Awalnya, sekelompok pengguna internet di China mengumpulkan informasi dan menyebarluaskannya melalui media sosial dengan tujuan untuk mengkritik atau mengucilkan pihak tertentu.
Seiring berjalannya waktu, definisi cancel culture semakin meluas dan secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan boikot massal. Menurut Lisa Nakamura, seorang profesor di University of Michigan yang dikutip oleh The New York Times, cancel culture adalah “budaya boikot” terhadap selebriti, merek, perusahaan, atau konsep tertentu.
Namun, apakah cancel culture selalu berhasil? Jawabannya tidak. Cancel culture harus didukung oleh viralitas. Hanya opini atau narasi yang berhasil menjadi viral di media sosial yang akan memunculkan dampak cancel culture. Selain itu, tingkat literasi juga berperan penting dalam menentukan arah budaya sosial yang muncul. Sayangnya, antusiasme dan animo masyarakat terhadap penggunaan media sosial seringkali tidak diimbangi dengan tingkat literasi digital yang memadai. Akibatnya, seringkali terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan media sosial untuk menyerang akun-akun individu, perusahaan, bahkan pemerintah.
Belajar dari kejadian-kejadian viral dan dampak cancel culture yang terjadi, A berusaha memanfaatkan “the power of social media”. Terutama pada saat-saat di mana banyak kasus yang diunggah oleh kelompok atau individu tertentu yang berhasil menciptakan cancel culture dengan dampak yang luar biasa.
A berusaha membangun opini yang menekankan dirinya sebagai korban dari otoritas pajak (playing victim) tanpa memberikan latar belakang yang jelas, sehingga terkadang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dalam penyampaian di media sosial.
Namun, di tengah segala fenomena ini, kita perlu menyadari pentingnya literasi. Menurut Unesco Institute of Statistics, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, mengomunikasikan, dan mengomputasi informasi. PISA (Programme for International Student Assessment) juga mendefinisikan literasi sebagai kemampuan dalam memahami, menggunakan, merefleksikan, dan melibatkan diri dengan teks tertulis. Dalam kedua definisi tersebut, ada dua fungsi penting dalam literasi, yaitu memproses dan mengomunikasikan informasi.
Dalam kasus A yang mencoba memviralkan kasusnya di media sosial, kita tidak boleh serta-merta menghakimi berdasarkan informasi dari satu sisi saja. Kita perlu memahami dengan akurat kasus yang sedang beredar dengan mengidentifikasi latar belakangnya terlebih dahulu.
Terkait dengan otoritas pajak yang menetapkan tagihan pajak yang besar, kita perlu memahami bahwa A enggan untuk mengukuhkan diri sebagai PKP meskipun secara subyektif dan objektif syaratnya telah terpenuhi. Sebagai warga Indonesia, kita harus mengacu pada hukum positif yang berlaku di negara ini, termasuk dalam hal perpajakan.
Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan status Pengusaha Kena Pajak secara jabatan jika wajib pajak tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 2 ayat (4a) UU KUP juga menegaskan bahwa kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau status Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dimulai sejak wajib pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan batas waktu paling lama lima tahun sebelum penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan status Pengusaha Kena Pajak.
Dari penjelasan hukum perpajakan yang ada, sebenarnya kasus A dapat dipahami dari sisi legalitas. Otoritas pajak telah melakukan langkah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam upaya menegakkan keadilan perpajakan.
Dalam menghadapi kasus seperti ini, bukanlah tugas kita sebagai individu untuk langsung menghakimi tanpa melihat fakta-fakta yang ada. Sebagai penulis dan jurnalis, kita harus senantiasa menjunjung tinggi etika jurnalistik yang mencakup prinsip-prinsip seperti kebenaran, akurasi, keadilan, dan keberimbangan. Kita harus berusaha mencari informasi dari berbagai sumber, menggali lebih dalam, dan mempertimbangkan semua sudut pandang sebelum menyampaikan opini atau membuat kesimpulan.
Terkait dengan cancel culture, kita perlu memahami bahwa tidak semua kasus yang viral di media sosial harus diputuskan dengan cara memboikot atau menyerang individu atau kelompok tertentu. Kita perlu belajar untuk lebih kritis dan objektif dalam menyikapi berbagai informasi yang kita dapatkan dari media sosial.
Sebagai penulis dan jurnalis, kita memiliki peran penting dalam membawa informasi yang akurat dan objektif kepada masyarakat. Kita harus mampu melihat fakta dari berbagai sudut pandang, melakukan riset yang mendalam, dan menyampaikan informasi dengan kejujuran dan keberimbangan. Dengan demikian, kita dapat menghindari penyebaran informasi yang tidak benar atau dapat menimbulkan konflik yang tidak perlu.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita semua untuk tetap menjaga etika dalam menyampaikan informasi dan berpikir kritis dalam menyikapi berbagai fenomena sosial yang terjadi. Dengan begitu, kita dapat menjadi penulis dan jurnalis yang berkualitas, mampu menyajikan informasi yang bermanfaat, dan berperan dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Terimakasih atas telah membaca artikel sampai akhir Budaya Viral, Cancel Culture, dan Pentingnya Literasi. Jangan sampai ketinggalan artikel berikutnya.
Jika Anda mengalami kesulitan dalam mengurus urusan perpajakan, jangan ragu untuk menghubungi Jhontax. Dengan bantuan Jhontax, Anda akan merasakan betapa mudahnya mengurus perpajakan Anda dengan cara yang efisien. Jadi, tunggu apalagi? Segera hubungi Jhontax untuk membantu Anda dalam mengurus perpajakan Anda!