Contact : 0813 5009 5007 Available 24/7

18 Office Tower

Jakarta

Spazio Tower

Surabaya

Podomoro City

Medan

Graha Raya

Tanggerang

Pajak dan Zakat: Persamaan dan Perbedaan

Undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat menjelaskan bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Sementara itu, pajak menurut undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU KUP) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Zakat dan pajak memiliki persamaan yaitu berupa sebagian harta yang diambil untuk kemaslahatan umat dan memiliki aturan dalam penerapannya. Akan tetapi, zakat dan pajak mempunyai perbedaan. Zakat merupakan perintah langsung dari Allah SWT, sedangkan pajak adalah perintah undang-undang yang merupakan kesepakatan bersama dalam bernegara karena telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, perwakilan seluruh rakyat Indonesia yang dipilih melalui proses pemilu.

Zakat didistribusikan terbatas kepada delapan golongan yang ditentukan sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, meliputi fakir, miskin, amil zakat, mualaf, riqab, gharim, fi sabilillah, dan ibnu sabil. Pajak merupakan salah satu instrumen melaksanakan tujuan negara dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea keempat yaitu untuk menyejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, antara zakat dan pajak mempunyai irisan dimana keduanya sama-sama mempunyai tujuan untuk menyejahterakan rakyat.

Pengurangan Pajak

Patut disyukuri bahwa Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas Islam mampu menyelaraskan regulasi zakat dan pajak. Di Indonesia, zakat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang kemudian diubah dengan UU 23/2011. Dalam pasal 22 UU pengelolaan zakat, zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada Baznas atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Bukti setoran zakat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Sebagai catatan, klausul pengurangan penghasilan ini tidak hanya untuk umat Muslim. Sumbangan keagamaan yang bersifat wajib juga dapat dimanfaatkan oleh umat agama lain untuk mengurangi penghasilannya dalam penghitungan PPh, tentu saja, sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku.

Selaras dengan UU pengelolaan zakat, dalam pasal 9 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU Ciptaker, bantuan atau sumbangan sejatinya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak namun khusus untuk zakat dan sumbangan wajib keagamaan boleh dikurangkan. Zakat yang boleh dikurangkan adalah yang dibayarkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Daftar BAZ/LAZ tersebut terdapat pada Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 03/PJ/2023.

Contoh Kasus Pajak

Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas, berikut adalah contoh kasus pengurangan pajak dengan pembayaran zakat:

Kasus Pertama:

  • Tuan A dengan status menikah tanpa tanggungan (K/0) bekerja pada PT Z.
  • Gaji dengan total setahun Rp360 juta, iuran pensiun Rp1,2 juta, dan melakukan pembayaran zakat Rp1,2 juta melalui PT Z kepada LAZ yang disahkan pemerintah.
  • Penghitungan pajak Tuan A yang dipotong PT Z adalah Rp360 juta dikurangi iuran pensiun Rp1,2 juta, biaya jabatan Rp6 juta, zakat Rp1,2 juta, dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp58.500.000,00 (K/0).
  • Sehingga penghasilan kena pajak Tuan A adalah Rp291.900.000,00.
  • Pajak yang dipotong setahun sesuai tarif UU PPh adalah Rp41.975.000,00.
  • Sedangkan jika Tuan A tanpa pembayaran zakat, penghitungan pajak yang dipotong PT Z adalah Rp360 juta dikurangi iuran pensiun Rp1,2 juta, biaya jabatan Rp6 juta, dan PTKP Rp58.500.000,00 (K/0).
  • Sehingga penghasilan kena pajak Tuan A adalah Rp294.300.000,00.
  • Pajak yang dipotong setahun sesuai tarif UU PPh adalah Rp42.575.000,00.

Kasus Kedua:

  • Tuan B dengan status menikah tanpa tanggungan (K/0) pedagang besar komputer.
  • Penghasilan neto setahun Rp360 juta, melakukan pembayaran zakat Rp1,2 juta kepada LAZ yang disahkan pemerintah.
  • Penghitungan pajak yang dibayar setahun adalah Rp360 juta dikurangi zakat Rp1,2 juta dan PTKP Rp58.500.000,00 (K/0).
  • Sehingga penghasilan kena pajak Tuan B adalah Rp299.100.000,00.
  • PPH terutang sesuai tarif UU PPh adalah Rp43.775.000,00.
  • Sedangkan jika Tuan B tanpa pembayaran zakat, penghitungan pajak yang dibayar setahun adalah Rp360 juta.
  • Sehingga setelah dikurangi PTKP Rp58.500.000,00 (K/0), penghasilan kena pajak Tuan B adalah Rp301.500.000,00.
  • PPH terutang sesuai tarif UU PPh adalah Rp44.375.000,00.

Zakat merupakan perwujudan ketaatan umat terhadap perintah Allah SWT, sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warga negara kepada ulil amri (pemimpin). Zakat dan pajak tidak saling menggantikan, namun Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim telah mampu menyelaraskan regulasi tentang pajak dan zakat dengan mengatur zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Tags :
Share This :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

Have Any Question?