Pengantar
Perdagangan aset kripto semakin berkembang pesat di Indonesia, seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap investasi digital ini. Pemerintah Indonesia telah mengatur perdagangan aset kripto melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna memastikan keamanan dan kepastian hukum bagi para pelaku pasar. Panduan ini menjelaskan dasar hukum dan ketentuan pajak yang berlaku atas transaksi perdagangan aset kripto di Indonesia, khususnya mengenai Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dasar Hukum
Peraturan yang menjadi dasar hukum terkait perdagangan aset kripto di Indonesia meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (PMK 68/2022).
4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Permendag No. 99/2018).
Pengertian
Berdasarkan PMK 68/2022, aset kripto didefinisikan sebagai komoditi tidak berwujud yang berbentuk aset digital, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak ketiga.
Penjual aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan atau pertukaran aset kripto. Pembeli aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau harus menerima aset kripto serta melakukan pembayaran atas aset tersebut. Pedagang fisik aset kripto adalah pihak yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk melakukan transaksi aset kripto.
Penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE), yang juga disebut exchanger, adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan aset kripto.
Perlakuan Pajak dalam Perdagangan Aset Kripto
1. Perlakuan PPN
- Objek PPN: Penyerahan barang kena pajak (BKP) berupa aset kripto oleh penjual aset kripto menjadi objek PPN.
- Pemungut PPN: PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh exchanger.
- Penghitungan PPN: Besaran PPN yang terutang dihitung sebesar 1% dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto untuk exchanger yang terdaftar di Bappebti, atau 2% untuk exchanger yang tidak terdaftar.
- Pemungutan dan Penyetoran PPN: Dilakukan saat pembayaran dari pembeli diterima oleh exchanger, atau saat pertukaran dan pemindahan aset kripto ke akun pihak lain.
- Pembuatan Bukti Pemungutan PPN: Exchanger wajib membuat bukti pemungutan PPN yang memuat data atau informasi pemotongan atau pemungutan pajak tertentu.
- Pelaporan SPT Masa PPN: Exchanger melaporkan PPN yang telah dipungut dan disetor dengan SPT Masa PPN 1107 PUT bagi pihak lain paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak.
2. Perlakuan PPh
- Objek PPh Pasal 22: Penghasilan dari transaksi aset kripto menjadi objek PPh. Ini mencakup transaksi dengan pembayaran mata uang fiat, tukar-menukar aset kripto (swap), atau transaksi lainnya.
- Pemungut PPh Pasal 22: PPh Pasal 22 dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh exchanger. Penghitungan PPh ini dilakukan berdasarkan nilai transaksi aset kripto.
Penutup
Perdagangan aset kripto di Indonesia telah diatur secara jelas dalam berbagai peraturan yang berlaku. Setiap pelaku usaha yang terlibat dalam perdagangan ini, termasuk penjual, pembeli, dan exchanger, harus mematuhi ketentuan pajak yang berlaku. Kepatuhan terhadap peraturan ini tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam ekosistem perdagangan aset kripto. Memahami ketentuan pajak ini penting untuk menghindari potensi sanksi serta menjaga reputasi usaha dalam jangka panjang.