Sebuah revolusi diam-diam tengah terjadi di dunia administrasi perpajakan, memicu perdebatan tentang kebutuhan akan otonomi penuh bagi otoritas perpajakan dari Kementerian Keuangan. Dalam konteks ini, kita belajar dari perjalanan Badan Penerimaan Negara Peru (SUNAT), sebuah lembaga yang berani memisahkan diri untuk mencapai keunggulan dalam penerimaan pajak.
Sebagai seorang pengamat, tidak bisa dilepaskan bahwa peran otoritas perpajakan semakin vital dalam menghadapi kompleksitas sistem perpajakan modern. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi alasan dan dampak dari pemisahan DJP dari Kemenkeu, mengingat keterbatasan dan tekanan yang dihadapi oleh administrasi perpajakan Indonesia saat ini.
Mengurai Gagasan Pemisahan
Gagasan untuk memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan bukanlah konsep baru. Sudah sejak satu dekade lalu, wacana ini mengemuka sebagai solusi atas beberapa isu krusial dalam administrasi perpajakan Indonesia. Menurut OECD (2013), alasan utama dibalik diskusi ini adalah untuk mengurangi campur tangan politik, meningkatkan tanggung jawab penerimaan, dan memperoleh fleksibilitas anggaran dan SDM yang lebih besar.
Namun, seperti yang dialami oleh berbagai negara, keberhasilan badan perpajakan yang terpisah dari Kementerian Keuangan tetap menjadi perdebatan. Artikel ini mencoba menyoroti pengalaman Peru dengan SUNAT sebagai pelajaran berharga bagi Indonesia dalam memilih langkah strategis di masa depan.
Memulai Dari Nol: Kisah SUNAT Peru
Perjalanan SUNAT dimulai dari kehancuran. Pada periode 1978-1989, rasio pajak Peru merosot drastis dari 14% menjadi 8%, mencapai titik terendah sejak 1972. Upaya restrukturisasi internal tidak mampu memperbaiki performa perpajakan, terutama dengan campur tangan politik yang merusak.
Pada awal 1990-an, SUNAT lahir sebagai lembaga otonom yang memisahkan diri dari Kementerian Keuangan Peru. Keputusan ini membawa angin segar bagi administrasi perpajakan. Dukungan politik yang kuat dari Presiden Alberto Fujimori menjadi pilar penting dalam kesuksesan SUNAT.
Mencari Jalan Keluar dari Stagnasi
SUNAT bukan hanya sekadar badan perpajakan independen; ia adalah motor yang menggerakkan perubahan. Rasio pajak Peru kembali pulih hingga mencapai 14% pada 1997, menunjukkan efektivitas SUNAT dalam menghadapi tantangan yang ada. Namun, perjalanan ini tidak tanpa rintangan.
Stabilitas kepemimpinan, dukungan politis yang konsisten, dan hubungan harmonis dengan lembaga terkait menjadi faktor krusial dalam menjaga performa SUNAT. Kasus ini menggambarkan bahwa pemisahan otoritas perpajakan bukanlah tujuan akhir, melainkan langkah awal dalam perjalanan panjang menuju perubahan yang berkelanjutan.
Pelajaran Berharga
Dari pengalaman SUNAT Peru, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diterapkan dalam konteks Indonesia:
- Kepemimpinan Kuat: Dukungan politik yang kokoh dan kepemimpinan yang stabil adalah kunci kesuksesan sebuah lembaga perpajakan independen.
- Otonomi yang Bertanggung Jawab: Pemisahan harus diikuti dengan otonomi yang bertanggung jawab, tanpa mengorbankan koordinasi dan harmoni dengan lembaga terkait.
- Keterlibatan Sebuah Kepentingan: Melibatkan pemangku kepentingan seperti komunitas bisnis dalam proses pengambilan keputusan dapat memperkuat legitimasi dan dukungan untuk kebijakan perpajakan.
Perjalanan SUNAT Peru adalah cermin bagi negara-negara yang ingin meningkatkan performa administrasi perpajakan melalui pemisahan otoritas perpajakan dari Kementerian Keuangan. Namun, keberhasilan tidak terwujud secara instan; dibutuhkan komitmen jangka panjang, kepemimpinan yang kuat, dan kerjasama yang harmonis untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Melalui pemahaman mendalam terhadap pengalaman SUNAT Peru, Indonesia dapat merumuskan strategi yang tepat dalam menghadapi tantangan kompleks dalam administrasi perpajakan, menuju masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan.