Pengantar
Dilansir dari situs CNBC Indonesia, Pembukaan kembali izin ekspor pasir laut di Indonesia menjadi salah satu kebijakan yang menuai pro dan kontra. Namun, di sisi lain, kebijakan ini membawa peluang baru bagi penerimaan negara. Menurut Kementerian Keuangan, potensi penerimaan negara dari ekspor pasir laut bisa mencapai Rp 2,5 triliun. Angka ini diproyeksikan berdasarkan hitung-hitungan volume penjualan dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku. Namun, sebelum memulai eksplorasi, pemerintah menetapkan sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi demi menjaga kelestarian lingkungan dan mematuhi regulasi yang ada.
Dasar Hukum
Pembukaan kembali izin penjualan pasir laut telah diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi di Laut. Regulasi ini memberikan kerangka hukum untuk pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut hasil sedimentasi. Berdasarkan peraturan tersebut, pasir yang boleh diekspor adalah hasil sedimentasi yang terbentuk secara alami tanpa mengandung mineral logam atau bahan berbahaya lainnya. Pengawasan terhadap penjualan pasir laut ini akan melibatkan banyak lembaga, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pengertian
Pasir laut yang dimaksud dalam regulasi ini merujuk pada pasir hasil sedimentasi yang terbentuk di dasar laut melalui proses alami. Sedimentasi ini terjadi akibat pengendapan lumpur, pasir, dan material organik lainnya yang terbawa oleh arus laut. Pasir laut ini memiliki potensi besar untuk digunakan dalam berbagai sektor industri, seperti konstruksi dan reklamasi lahan, baik di dalam negeri maupun untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor. Meski demikian, sebelum diekspor, pasir ini harus melalui proses verifikasi dan uji kandungan mineral guna memastikan bahwa material yang diekspor tidak mengandung komponen logam yang dilarang untuk diperjualbelikan.
Potensi Penerimaan Negara
Berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, potensi penerimaan dari penjualan pasir laut mencapai Rp 2,5 triliun jika total volume penjualan mencapai 50 juta meter kubik. Estimasi ini didasarkan pada harga jual yang bervariasi antara kebutuhan dalam negeri dan ekspor, serta tarif PNBP yang telah ditetapkan. Untuk penjualan domestik, harga pasir laut ditetapkan sebesar Rp 93.000 per meter kubik dengan tarif PNBP sebesar 30%. Sedangkan untuk penjualan ekspor, harga pasir laut mencapai Rp 198.000 per meter kubik dengan tarif PNBP sebesar 35%.
Jika dihitung secara rinci, penjualan 27,5 juta meter kubik pasir laut untuk kebutuhan dalam negeri dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 767,25 miliar. Sementara itu, penjualan 22,5 juta meter kubik pasir laut untuk kebutuhan ekspor diperkirakan memberikan kontribusi sebesar Rp 1,732 triliun. Dengan total penjualan 50 juta meter kubik, potensi penerimaan negara diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.
Namun, perhitungan ini masih bersifat sementara karena pemerintah belum menetapkan target penerimaan resmi dari penjualan pasir laut. Selain itu, perubahan harga pasar, permintaan global, dan kebijakan fiskal lainnya juga dapat mempengaruhi besaran penerimaan yang sebenarnya.
Tantangan dalam Implementasi Ekspor Pasir Laut
Meskipun potensi penerimaan dari ekspor pasir laut terlihat menggiurkan, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, antara lain:
1. Keseimbangan Ekosistem Laut
Salah satu kekhawatiran utama dari eksplorasi pasir laut adalah dampaknya terhadap ekosistem laut, termasuk pada terumbu karang dan kehidupan laut lainnya. Aktivitas pengambilan pasir yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak bisa diperbaiki. Oleh karena itu, perlu ada kajian lingkungan yang mendalam sebelum memulai eksplorasi pasir laut.
2. Koordinasi Antar-Lembaga
Proses izin ekspor pasir laut melibatkan banyak kementerian dan lembaga seperti Kementerian ESDM, KKP, KLHK, dan Kementerian Keuangan. Koordinasi yang kompleks ini dapat menjadi tantangan tersendiri dalam memperlancar proses perizinan dan pengawasan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme koordinasi yang efisien dan sistem pengawasan yang terintegrasi.
3. Risiko Penyalahgunaan dan Eksploitasi Berlebih
Nilai ekonomis yang tinggi dari pasir laut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan, seperti penambangan liar atau penjualan yang tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan. Pengawasan ketat dan penegakan hukum yang kuat diperlukan untuk mencegah terjadinya praktik-praktik ilegal ini.
4. Fluktuasi Harga Pasar Internasional
Harga pasir laut di pasar internasional dapat berfluktuasi tergantung pada permintaan dan pasokan global. Ketidakpastian harga ini dapat mempengaruhi stabilitas penerimaan negara dari komoditas ini, sehingga pemerintah perlu mempersiapkan strategi mitigasi untuk menghadapi risiko pasar.
Penutup
Potensi penerimaan negara dari ekspor pasir laut memang terlihat menjanjikan, namun pelaksanaannya harus diimbangi dengan regulasi yang ketat dan pengawasan yang menyeluruh untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, koordinasi antar-kementerian dan lembaga terkait harus berjalan dengan baik agar proses pengelolaan ekspor pasir laut ini tidak menimbulkan kerugian baik dari sisi lingkungan maupun dari sisi penerimaan negara.
Dalam konteks perpajakan, komoditas ekspor seperti pasir laut perlu dilaporkan secara transparan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tidak menimbulkan sengketa pajak di kemudian hari. Jika Anda membutuhkan bantuan dalam pelaporan pajak atau konsultasi terkait pajak ekspor, Jhontax siap membantu Anda. Dengan pengalaman yang mumpuni dalam penyusunan keuangan dan pelaporan pajak, Jhontax dapat memberikan solusi yang tepat untuk mengelola pajak usaha Anda dengan efisien. Hubungi tim Jhontax sekarang dan pastikan bisnis Anda mematuhi seluruh regulasi yang berlaku.