Pengantar
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang direncanakan akan diberlakukan pada Januari 2025, kini menjadi topik hangat yang mengundang perhatian luas. Dengan ekonomi yang sedang mengalami tekanan, terutama akibat penurunan daya beli masyarakat, banyak pihak yang mempertanyakan kebijakan ini. Salah satu yang menarik perhatian adalah pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR, yang menegaskan bahwa perubahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak diperlukan untuk menunda penerapan tarif PPN 12%. Keputusan ini kini berada di tangan Presiden Prabowo Subianto, yang harus mempertimbangkan dengan cermat berbagai aspek yang ada.
Dasar Hukum
Kebijakan kenaikan tarif PPN ini tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mengamanatkan perubahan tarif PPN. Namun, meskipun diatur dalam undang-undang, penerapan tarif tersebut dapat ditunda dengan kesepakatan politik, mengingat dampak yang ditimbulkan sangat signifikan bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie Othniel Fredric Palit, menjelaskan bahwa perubahan ini tidak memerlukan amandemen undang-undang, tetapi memerlukan keputusan politik yang tepat dari pemerintah.
Pengertian
Penerapan PPN sebesar 12% pada 2025 bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, dengan perkiraan tambahan penerimaan sekitar Rp 945 triliun. Namun, keputusan ini dihadapkan pada kenyataan bahwa daya beli masyarakat sudah tertekan. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa saat ekonomi negara masih melemah, kebijakan kenaikan pajak justru dapat memperburuk kondisi tersebut.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, tarif PPN yang lebih tinggi dapat menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan meningkatkan biaya hidup masyarakat secara keseluruhan. Ini bisa sangat berdampak bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang diperkirakan akan mengalami penurunan daya beli, sehingga berdampak pada pengeluaran dan konsumsi mereka. Kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa pada tarif PPN 10% (2020-2021), rumah tangga miskin menanggung beban lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga kaya, namun tetap ada pengaruh yang cukup signifikan terhadap anggaran rumah tangga masyarakat miskin.
Penting untuk dicatat bahwa, meskipun kenaikan tarif PPN tidak bisa dihindari dalam kerangka APBN 2025, sejumlah pihak seperti Wakil Ketua Komisi XI Fauzi Amro, mengusulkan agar sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, sembako, dan transportasi, tidak terkena dampak kenaikan pajak tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak semakin membebani masyarakat.
Penutup
Secara keseluruhan, meskipun kebijakan ini memiliki niat untuk meningkatkan penerimaan negara, penerapan PPN 12% harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati mengingat tekanan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan menjaga daya beli masyarakat yang sedang terpuruk. Keputusan ada di tangan Presiden Prabowo, dan dampaknya akan terasa langsung bagi seluruh lapisan masyarakat.
Bagi Anda yang membutuhkan konsultasi terkait pengelolaan pajak dan penyusunan laporan pajak usaha, tim Jhontax siap membantu. Jangan ragu untuk menghubungi kami dan mendapatkan layanan pajak yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhan bisnis Anda.