Dalam rangka mempercepat transformasi digital pemerintahan, proyek Government Technology (GovTech) atau INA Digital telah dimulai dengan tujuan untuk mengintegrasikan seluruh sistem pelayanan publik di Indonesia. Salah satu aspek utama dari proyek ini adalah digitalisasi administrasi perpajakan, yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pajak serta mempermudah pengawasan dan manajemen perpajakan. Proyek ini mulai mendapat sorotan sejak peresmian oleh Presiden Jokowi pada acara Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) Summit di Jakarta pada 27 Mei 2024. Namun, meskipun memiliki potensi besar, digitalisasi perpajakan melalui sistem seperti Coretax juga membawa serta ancaman administratif yang perlu dipertimbangkan dengan matang.
Coretax
Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax merupakan salah satu inovasi utama dalam digitalisasi pajak yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Tujuannya jelas: untuk mempercepat dan mempermudah proses administrasi perpajakan. Coretax dirancang untuk menjadi instrumen manajemen perpajakan berbasis digital yang tidak hanya memperbaiki efisiensi tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak yang masih tergolong rendah di Indonesia.
Dalam implementasinya, Coretax akan terintegrasi dengan berbagai layanan publik lainnya. Hal ini memungkinkan pengawasan kepatuhan pajak menjadi lebih ketat dan efektif. Sebagai contoh, dalam waktu dekat, sistem ini akan terhubung dengan layanan pengurusan paspor di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Apabila seseorang yang ingin mengurus paspor terbukti belum membayar pajak, akses untuk melanjutkan pengurusan paspor akan terkendala atau bahkan tidak bisa dilanjutkan. Begitu pula dengan layanan publik lainnya yang terhubung dengan data perpajakan.
Ancaman Administratif: Apa yang Dikhawatirkan?
Baru-baru ini, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengungkapkan potensi ancaman administratif yang bisa muncul sebagai dampak dari penerapan sistem Coretax. Sebagai contoh, apabila seseorang tidak membayar pajak, maka secara otomatis akan mengalami kesulitan untuk mengakses layanan publik seperti pengurusan paspor atau layanan ekspor-impor. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa digitalisasi yang seharusnya memperbaiki kinerja pemerintah, justru bisa mengarah pada pembatasan hak-hak warga negara yang tidak membayar pajak.
Proses yang terjadi pada sistem seperti Coretax ini menciptakan semacam relasi kuasa berbasis ancaman (coercive power), di mana masyarakat terpaksa membayar pajak karena takut tidak bisa mendapatkan layanan publik. Hal ini mirip dengan seorang anak yang belajar karena takut dihukum, bukan karena dorongan untuk mendapatkan pengetahuan. Ketika masyarakat dipaksa membayar pajak dengan ancaman administratif, dapat timbul budaya ketakutan dan kecemasan, yang pada gilirannya dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Digitalisasi Sebagai Instrumen Kontrol
Adopsi teknologi informasi dan komunikasi dalam sektor pemerintahan, khususnya dalam administrasi perpajakan, bertujuan untuk mendukung peningkatan kinerja manajerial dan operasional. Digitalisasi seharusnya memberikan banyak manfaat seperti efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas yang lebih baik. Dengan demikian, pelayanan publik diharapkan menjadi lebih cepat, murah, dan lebih mudah diakses oleh masyarakat.
Namun, janji-janji manis digitalisasi sering kali tidak terwujud sepenuhnya. Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa digitalisasi berpotensi besar dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dan pengawasan perpajakan. Akan tetapi, sebuah peringatan perlu disampaikan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pratama (2024) dalam konteks retribusi daerah menunjukkan bahwa meskipun digitalisasi meningkatkan transparansi, ia juga dapat memicu kebingungan dan ketidakjelasan bagi masyarakat yang menjadi pembayar retribusi. Ini menandakan bahwa adopsi digitalisasi dalam pelayanan publik tidak selalu mulus dan seringkali membawa tantangan baru yang harus dihadapi.
Dalam konteks digitalisasi pajak, tujuan utama Coretax adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar 1200 hingga 1500 triliun rupiah, yang setara dengan sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini menunjukkan seberapa besar harapan pemerintah terhadap potensi digitalisasi dalam mendongkrak sektor perpajakan. Namun, apakah ancaman administratif ini akan efektif dalam meningkatkan kepatuhan pajak, atau malah sebaliknya akan menambah resistensi masyarakat terhadap kewajiban perpajakan?
Menghadapi Risiko Resistensi dan Meningkatkan Kesadaran Pajak
Ancaman administratif dalam digitalisasi pajak merupakan pendekatan reaktif untuk mencapai hasil yang cepat. Memang, dalam jangka pendek, kebijakan ini mungkin dapat meningkatkan pemasukan negara dari pajak. Namun, dalam jangka panjang, ancaman seperti ini berpotensi memicu resistensi masyarakat yang lebih besar terhadap kewajiban pajak. Oleh karena itu, sebuah perubahan perilaku masyarakat yang bersifat jangka panjang tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan ancaman dan pemaksaan.
Penting untuk menciptakan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kewajiban membayar pajak. Kesadaran ini bisa dibangun melalui pendidikan dan sosialisasi yang lebih intensif. Pemerintah harus menunjukkan bahwa membayar pajak adalah bagian dari kewajiban yang seharusnya diikuti dengan hak untuk memperoleh layanan publik yang berkualitas. Hubungan ini harus dipahami dengan baik oleh kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat.
Namun, kualitas pelayanan publik juga harus menjadi perhatian utama. Data Global Economy (2024) menunjukkan bahwa indeks kualitas pelayanan publik di Indonesia masih cukup rendah, yakni 5,60 dari skala 1-10. Kualitas pelayanan publik yang rendah ini berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk membayar pajak. Jika masyarakat tidak merasakan manfaat nyata dari pajak yang dibayar, maka mereka cenderung enggan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, perbaikan kualitas pelayanan publik harus menjadi prioritas utama.
Menuju Pelayanan Publik yang Berkualitas dan Sistem Pajak yang Efektif
Untuk menghindari resistensi masyarakat terhadap digitalisasi pajak dan ancaman administratif, pemerintah perlu berfokus pada peningkatan kualitas layanan publik. Pemerintah harus memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Hanya dengan pelayanan publik yang berkualitas, masyarakat akan lebih terbuka dan ikhlas untuk memenuhi kewajiban perpajakan mereka.
Selain itu, penggunaan insentif juga dapat menjadi alternatif yang lebih konstruktif daripada ancaman. Insentif pajak bisa berupa diskon, penghargaan, atau bahkan pengakuan non-finansial kepada pembayar pajak yang rajin. Program-program insentif seperti ini dapat mendorong masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela dan merasa dihargai.
Lebih jauh lagi, modernisasi administrasi perpajakan melalui Coretax sebaiknya tidak hanya fokus pada pengawasan dan kontrol. Sebaliknya, teknologi ini harus digunakan untuk menyederhanakan dan mempermudah proses pembayaran pajak. Prosedur yang rumit dan panjang sering kali menjadi hambatan bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban mereka. Simplifikasi proses ini harus menjadi prioritas utama dalam implementasi sistem Coretax agar dapat mendorong lebih banyak masyarakat untuk patuh pada kewajiban perpajakan mereka.
Kesimpulan
Digitalisasi pajak melalui Coretax memiliki potensi besar dalam meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan pendapatan negara. Namun, penerapan sistem ini tidak bisa hanya mengandalkan ancaman administratif sebagai alat kontrol. Sebaliknya, fokus utama harus pada peningkatan kualitas layanan publik dan pembentukan kesadaran pajak yang lebih baik. Pemerintah harus berusaha menciptakan hubungan yang harmonis antara hak dan kewajiban masyarakat, dengan pelayanan publik yang berkualitas sebagai imbalan dari pembayaran pajak. Dengan demikian, digitalisasi perpajakan bisa menjadi instrumen yang efektif dan berkelanjutan untuk kemajuan negara tanpa menimbulkan resistensi atau ketakutan di kalangan masyarakat.