Bulan Maret setiap tahunnya menjadi periode sibuk bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan wajib pajak. Ini terkait dengan batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) yang jatuh pada 31 Maret. Jika terlambat, wajib pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Namun, banyak wajib pajak mempertanyakan alasan di balik kewajiban ini. Mereka sudah membayar pajak, tetapi tetap harus melaporkan SPT. Banyak kritik muncul di media sosial, mempertanyakan mengapa tidak DJP saja yang memberikan laporan pertanggungjawaban kepada wajib pajak.
Komentar-komentar di media sosial X (Twitter) mencerminkan kebingungan ini. Beberapa menyebutkan, “Sudah bayar pajak, masih harus lapor sendiri dengan proses yang rumit!” atau “Bukannya kita yang seharusnya menerima laporan dari DJP?”. Keresahan ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang belum memahami sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia, yaitu sistem self-assessment.
Konsekuensi Sistem Self-Assessment
1. Mengapa Wajib Pajak Harus Melaporkan SPT?
Dalam sistem self-assessment, wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang. Aparat pajak hanya bertindak sebagai pengawas dan penegak hukum dalam memastikan kepatuhan wajib pajak.
Sebagai perbandingan, sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, Indonesia menggunakan sistem official assessment, di mana aparat pajak yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar. Namun, sistem ini membuka peluang penyimpangan dan ketidakadilan karena wajib pajak tidak memiliki kontrol terhadap kewajiban pajaknya.
2. Keunggulan Sistem Self-Assessment
- Wajib Pajak Memiliki Kontrol Penuh Wajib pajak sendiri yang menghitung dan melaporkan pajaknya, sehingga lebih transparan.
- Mengurangi Interaksi dengan Aparat Pajak Tidak seperti sistem lama di mana aparat pajak mendatangi langsung wajib pajak dan menetapkan pajak secara sepihak.
- Memastikan Pajak yang Dibayar Akurat Wajib pajak yang lebih memahami kondisi keuangan mereka sendiri memiliki kesempatan untuk menghitung pajaknya dengan lebih akurat.
3. Apakah SPT yang Dilaporkan Selalu Benar?
DJP mengasumsikan bahwa SPT yang dilaporkan wajib pajak adalah benar, kecuali ditemukan data atau informasi lain yang menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu, DJP memiliki prosedur klarifikasi seperti:
- Pengiriman Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK)
- Proses edukasi dan pengawasan bagi wajib pajak
- Pemeriksaan apabila ada ketidaksesuaian data yang signifikan
Semua ini dilakukan untuk memastikan bahwa pajak yang dibayarkan benar dan sesuai dengan peraturan.
Konsekuensi Tidak Melaporkan SPT
Bagi wajib pajak yang tidak melaporkan SPT tepat waktu, terdapat konsekuensi sebagai berikut:
- Sanksi Administratif
- Denda sebesar Rp100.000 untuk wajib pajak orang pribadi
- Denda sebesar Rp1.000.000 untuk wajib pajak badan
- Pemeriksaan Pajak Jika DJP menemukan ketidaksesuaian atau kecurangan dalam laporan pajak, pemeriksaan dapat dilakukan.
- Hambatan dalam Urusan Keuangan Beberapa transaksi keuangan seperti pengajuan kredit atau tender pemerintah sering mensyaratkan bukti kepatuhan pajak.
Kesimpulan
Kewajiban melaporkan SPT memang bisa terasa membingungkan bagi banyak orang, terutama bagi yang sudah membayar pajak secara otomatis melalui pemotongan gaji atau transaksi lainnya. Namun, sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, yang memberikan kendali penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya.
Dengan memahami alasan di balik sistem ini, wajib pajak dapat lebih memahami peran dan tanggung jawabnya dalam membangun kepatuhan pajak yang lebih baik. Untuk menghindari denda, pastikan Anda melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2024 sebelum batas waktu 31 Maret 2025!
Butuh Bantuan dalam Pelaporan SPT?
Jika Anda mengalami kesulitan dalam melaporkan SPT, konsultasikan dengan Jhontax Konsultan Pajak terpercaya atau kunjungi situs resmi DJP untuk informasi lebih lanjut.