Contact : 0813 5009 5007 Available 24/7

18 Office Tower

Jakarta

Spazio Tower

Surabaya

Podomoro City

Medan

Graha Raya

Tanggerang

Fenomena Joki Strava: Aspek Pajak dan Solusinya

Pajak Profesi: Pajak Atas Penghasilan Pemain e-Sport
Pengantar

Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial di Indonesia diramaikan oleh sebuah fenomena unik yang dikenal dengan sebutan “joki Strava”. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kreativitas masyarakat, tetapi juga memicu diskusi mengenai berbagai aspek, termasuk dampak perpajakan yang mungkin muncul.

Joki Strava adalah layanan yang menyediakan penggantian dalam melakukan aktivitas olahraga, khususnya di tengah tren populer seperti lari. Aplikasi Strava, yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2009 dan pada tahun 2023 memiliki lebih dari 120 juta pengguna, memungkinkan pengguna merekam setiap detail aktivitas mereka dengan memanfaatkan teknologi Sistem Pemosisian Global (Global Positioning System – GPS) pada smartphone. Dengan fitur seperti pelacakan jarak, durasi, kecepatan, elevasi, dan analisis performa yang lengkap, Strava tidak hanya menjadi alat untuk mencatat pencapaian pribadi dalam olahraga, tetapi juga menjadi platform untuk berbagi pencapaian dan membangun komunitas di media sosial.

Dasar Hukum

Fenomena ini tidak hanya menarik perhatian di platform media sosial, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana aspek perpajakannya. Seiring dengan berkembangnya fenomena ini, akan menarik untuk melihat bagaimana regulasi dan kebijakan perpajakan akan beradaptasi untuk mengakomodasi perkembangan ini dalam ekosistem digital dan ekonomi berbagi yang terus berkembang di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), joki Strava dapat dikategorikan sebagai pekerja lepas (freelance). Mereka adalah individu yang mandiri dan tidak terikat oleh perjanjian dengan pemberi kerja, termasuk perusahaan. Oleh karena itu, mereka tidak dianggap sebagai karyawan perusahaan dan memiliki kebebasan dalam memilih klien serta jenis pekerjaan yang ingin mereka lakukan.

Perpajakan

Dalam konteks perpajakan di Indonesia, seorang pekerja lepas (freelancer) seperti penjoki Strava tetap dianggap sebagai pekerja, meskipun mereka tidak terhubung dengan perusahaan atau lembaga tertentu. Mereka menghasilkan pendapatan dari pekerjaan yang mereka lakukan dan wajib melaporkannya setiap tahun.

Di Indonesia, sistem perpajakan menggunakan metode self-assessment yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutang atas penghasilan yang diperoleh selama satu tahun pajak. Wajib pajak juga dapat memilih menggunakan metode pembukuan atau pencatatan untuk menghitung penghasilannya, dengan syarat pencatatan dapat digunakan jika penghasilan bruto wajib pajak kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun. Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan norma penghitungan penghasilan neto bagi wajib pajak yang menggunakan metode pencatatan ini.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah pedoman untuk menentukan jumlah penghasilan neto yang digunakan dalam perhitungan pajak penghasilan terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Wajib pajak yang ingin menggunakan NPPN harus mengajukan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tiga bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pemberitahuan ini dapat diajukan secara daring melalui akun DJP Online milik wajib pajak di menu info KSWP.

Ilustrasi dan Penghitungan

Sebagai contoh, Hadi, seorang mahasiswa dengan NPWP, status belum menikah dan tanpa tanggungan, menawarkan jasa sebagai penjoki di aplikasi Strava dengan tarif Rp10.000 per kilometer untuk pace di bawah 5. Pada tahun 2024, Hadi berhasil menghasilkan pendapatan sebesar Rp18.000.000.

Dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya, Hadi menggunakan NPPN dengan terlebih dahulu mengajukan pemberitahuan menggunakan NPPN maksimal pada tiga bulan pertama tahun pajak bersangkutan. Besarnya norma untuk pekerja bebas adalah 50%, sehingga penghasilan neto Hadi adalah Rp18.000.000 x 50% = Rp9.000.000.

Penghasilan neto sebesar Rp9.000.000 ini tidak langsung dikenakan pajak, karena kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk status tidak kawin dan tidak ada tanggungan (TK/0) sebesar Rp54.000.000. Dari pengurangan ini, terlihat bahwa penghasilan kena pajak Hadi adalah Rp0 dan tidak dikenakan pajak penghasilan.

Namun, jika Hadi memberikan jasanya kepada pihak pemotong (perusahaan atau instansi), penghasilannya sebagai bukan pegawai wajib dipotong oleh pemberi penghasilan. Dasar pengenaan pajaknya adalah 50% dari peredaran bruto, yaitu 50% x Rp18.000.000 = Rp9.000.000 dan berdasarkan tarif PPh yang berlaku, pajak sebesar 5% x Rp9.000.000 = Rp45.000 akan dipotong dari penghasilan tersebut.

Ketika dilaporkan dalam SPT Tahunan, potongan pajak ini dapat dikembalikan karena status pelaporannya yang lebih bayar (PPh terutang Rp0, tetapi potongan pajak Rp45.000).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua penghasilan yang dilaporkan akan terkena pajak, tergantung pada jenis pelaporan dan penghitungannya. Semoga penjelasan ini bermanfaat! 😊

Penutup

Terlepas dari seluruh pembahasan di atas, yang lebih utama untuk dicamkan adalah nilai-nilai sportivitas. Karena sejatinya, olahraga terbaik adalah yang dilakukan oleh kita sendiri dan tentunya dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Butuh bantuan Konsultan Pajak? Jhontax dapat membantu Anda mengurus penyusunan keuangan dan pelaporan pajak. Hubungi tim Jhontax sekarang.

Sumber Materi Artikel pajak.go.id
Tags :
Share This :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

Have Any Question?