Contact : 0813 5009 5007 Available 24/7

18 Office Tower

Jakarta

Spazio Tower

Surabaya

Podomoro City

Medan

Graha Raya

Tanggerang

Panduan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Perkebunan

Pengantar

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu bentuk kewajiban pajak yang dikenakan atas kepemilikan dan/atau penguasaan atas bumi dan bangunan. Pada sektor perkebunan, penerapan PBB ini memiliki aturan khusus yang berbeda dengan sektor lainnya, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 186/2019 yang telah diperbarui melalui PMK Nomor 234/PMK.03/2022. Panduan ini akan mengulas secara mendalam mengenai tata cara pengenaan PBB pada sektor perkebunan, termasuk cara perhitungan, pengklasifikasian objek pajak, serta ketentuan administrasi yang berlaku.

Dasar Hukum

Dasar hukum yang mengatur Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor perkebunan di Indonesia diatur dalam:

1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 186/2019 yang mengatur tentang PBB untuk sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya (PBB-P5L).

2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 234/PMK.03/2022, sebagai perubahan dari PMK No. 186/2019, yang memuat ketentuan terbaru terkait pengenaan PBB pada sektor perkebunan.

Pengertian PBB Sektor Perkebunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkebunan mencakup pajak yang dikenakan atas tanah (bumi) dan/atau bangunan yang berada dalam kawasan perkebunan. Kawasan perkebunan adalah wilayah yang dikelola untuk kegiatan budidaya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan lainnya.

1. Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan

Berdasarkan Pasal 2 PMK No. 186/2019 yang telah diubah oleh PMK No. 234/2022, objek pajak PBB sektor perkebunan terdiri dari bumi dan/atau bangunan yang terletak dalam kawasan perkebunan. Penjelasan lebih lanjut tentang objek pajak dapat ditemukan pada Pasal 3 dan 9, yang menyatakan bahwa tanah (bumi) adalah permukaan bumi yang berada dalam kawasan perkebunan, dan bangunan adalah konstruksi tetap yang berdiri di atas tanah tersebut.

2. Klasifikasi Kawasan Perkebunan sebagai Objek Pajak

Pasal 3 PMK No. 186/2019 menetapkan klasifikasi kawasan perkebunan sebagai berikut:

  • Areal Berdasarkan Izin Usaha: Kawasan yang memiliki izin usaha perkebunan seperti Izin Usaha Perkebunan Budidaya, Izin Usaha Perkebunan, atau Hak Guna Usaha untuk perkebunan.
  • Areal Terhubung Secara Fisik: Area yang merupakan bagian dari kawasan perkebunan dan terhubung melalui sungai, parit, jalan, atau jembatan.Namun, ada pengecualian, yaitu areal yang telah memperoleh izin untuk pengolahan perkebunan tidak termasuk dalam objek pajak PBB sektor perkebunan.

3. Penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk sektor perkebunan diatur dalam Pasal 14 PMK No. 234/2022. Penetapan NJOP didasarkan pada lima kategori areal perkebunan, yaitu:

  • Areal Produktif Perkebunan: Tanah yang sudah ditanami dan menghasilkan, dengan NJOP yang dihitung berdasarkan kombinasi nilai tanah dan nilai tanaman yang ditanam.
  • Areal Belum Produktif Perkebunan: Tanah yang belum ditanami, NJOP dihitung berdasarkan perbandingan harga objek sejenis.
  • Areal Tidak Produktif Perkebunan: Tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha, dengan NJOP berdasarkan perbandingan harga objek sejenis.
  • Areal Pengaman Perkebunan: Area pendukung seperti zona pengaman, dengan NJOP disesuaikan dengan NJOP Areal Belum Produktif.
  • Areal Emplasemen Perkebunan: Area untuk bangunan dan fasilitas penunjang, dengan NJOP dihitung berdasarkan harga objek sejenis.

4. Penerbitan PBB Terutang

PBB terutang pada sektor perkebunan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP). Penerbitan SPPT ini harus dilakukan paling lambat lima tahun setelah tahun pajak berakhir.Persyaratan untuk penerbitan SPPT untuk sektor perkebunan meliputi isian SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) yang harus dilengkapi dengan dokumen pendukung seperti izin usaha perkebunan, laporan perkembangan usaha, serta peta tahun tanam terakhir.

5. Rumus Penghitungan PBB Sektor Perkebunan

Penghitungan PBB untuk sektor perkebunan mengikuti rumus berikut:

  • Nilai Jual Kena Pajak (NJKP): Ditentukan sebesar 40% dari NJOP.
  • PBB Terutang: Dihitung dengan tarif 0,5% dari NJKP.

Rumusnya adalah sebagai berikut:

PBB = 0,5% × (NJOP−NJOPTKP) × 40%

Di mana NJOPTKP adalah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, yang pada tahun 2023 adalah Rp 12.000.000. Satu wajib pajak hanya berhak mendapatkan satu NJOPTKP meskipun memiliki lebih dari satu objek pajak.

    Contoh Penghitungan PBB Sektor Perkebunan

    Misalnya PT XYZ memiliki kawasan perkebunan karet seluas 1.100 Ha di Provinsi Sumatera Selatan dan melaporkan SPOP untuk Tahun Pajak 2021. Jika NJOP untuk bumi dan bangunan di kawasan tersebut dihitung sebagai berikut:

    Areal Produktif: Rp 100.000.000

    Areal Belum Produktif: Rp 50.000.000

    Areal Pengaman: Rp 25.000.000

    Areal Emplasemen: Rp 15.000.000

    Maka, perhitungan PBB terutang akan dilakukan berdasarkan rumus di atas.

    Penutup

    Pemahaman yang mendalam tentang ketentuan PBB sektor perkebunan sangat penting bagi para pelaku usaha untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Dengan mengikuti pedoman ini, pelaku usaha dapat mengelola kewajiban perpajakan mereka secara tepat, menjaga transparansi, dan mendukung sektor perkebunan yang merupakan bagian penting dari perekonomian nasional.

    Jika Anda membutuhkan bantuan lebih lanjut terkait pajak usaha, tim Jhontax siap membantu Anda dalam penyusunan laporan pajak dan keuangan. Hubungi kami sekarang untuk mendapatkan konsultasi pajak yang komprehensif dan solusi yang tepat untuk usaha Anda.

    Tags :
    Share This :

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Recent Posts

    Have Any Question?