Dalam membahas pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tidak bisa diabaikan peran pelaku ekonomi, terutama perusahaan. Sensus ekonomi tahun 2016 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan peningkatan jumlah perusahaan sebesar 3,98 juta dari tahun 2006 hingga 2016. Walaupun peningkatan ini memberikan dampak positif terhadap penyediaan barang dan/atau jasa serta penciptaan lapangan kerja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, kegiatan operasional perusahaan juga membawa dampak negatif bagi alam dan lingkungan.
Latar Belakang Hukum
Untuk menanggapi dampak negatif tersebut, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa “Perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan Corporate Social Responsibility”. CSR merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
CSR dan Deductible Expense
Pemerintah menetapkan aturan mengenai deductible expense dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Deductible expense adalah biaya yang dapat dikurangkan sebagai pengurang pajak pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. CSR terkait dengan tiga prinsip umum deductible expense, yaitu:
- Berhubungan dengan kegiatan usaha: CSR mencerminkan tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif kegiatan operasionalnya, seperti pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, biaya CSR terkait langsung dengan kegiatan usaha.
- Digunakan untuk mendapat, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan yang dikenakan pajak: CSR dapat meningkatkan citra perusahaan di mata masyarakat, memperoleh dukungan, dan kepercayaan publik yang berpengaruh terhadap profit perusahaan. Ini menunjukkan keterkaitan CSR dengan 3M penghasilan.
- Tidak digunakan untuk kepentingan pribadi: Biaya CSR yang dikeluarkan untuk kepentingan masyarakat dalam batas wajar dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi memenuhi prinsip ini.
Pengecualian dan Persyaratan CSR sebagai Deductible Expense
Meskipun CSR memenuhi prinsip deductible expense, ada beberapa pengecualian dan persyaratan tambahan yang diatur dalam peraturan pemerintah. Jika CSR yang dikeluarkan perusahaan tidak memenuhi persyaratan sesuai UU Pajak Penghasilan, Peraturan Menteri Keuangan, dan/atau Peraturan Pemerintah, maka tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.
CSR yang Dikategorikan sebagai Deductible Expense
- Biaya promosi dan penjualan: Menurut PMK No.2/PMK.03/2010, biaya promosi termasuk CSR harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam PMK tersebut untuk menjadi deductible expense.
- Biaya pengolahan limbah.
- Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan: Biaya CSR berupa beasiswa, magang, dan pelatihan harus dalam batas kewajaran. Jika tidak wajar atau terdapat hubungan istimewa, biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
- Sumbangan: Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010, sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan, fasilitas pendidikan, pembinaan olahraga, dan pembangunan infrastruktur sosial dapat menjadi deductible expense dengan syarat tertentu. Sumbangan tidak boleh melebihi 5% dari penghasilan neto fiskal tahun pajak sebelumnya dan harus didukung dengan bukti sah.
Kesimpulan
CSR dapat menjadi deductible expense jika memenuhi prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan dan persyaratan dalam peraturan pemerintah terkait. Penerapan CSR sebagai deductible expense tidak berlaku secara mutlak dan harus memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Hubungi Jhontax
Butuh bantuan Jasa Konsultan Pajak? Jhontax dapat membantu Anda mengurus Jasa Konsultan Pajak dan Pelaporan Keuangan. Hubungi tim Jhontax sekarang.